Search
Close this search box.

Mencintai Dakwah: Bukti Cinta Kepada Allah & Rasul-Nya

Mencintai Dakwah: Bukti Cinta Kepada Allah & Rasul-Nya

Oleh:

Irfan Abu Naveed, M.Pd.I

Mudir Cinta Quran Center | Kandidat Doktor Hukum Islam

 

Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya itu bertanda, tandanya adalah walâ’ (loyal) kepada Allah dan Rasul-Nya dengan tunduk pada Din-Nya, dan barâ’ah (berlepas diri) dari segala hal yang menyelisihi Din-Nya, hal ini meniscayakan cinta pada apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, mencakup cinta pada Din-Nya dan pengembannya, pada saat yang sama membenci segala hal dibenci Allah dan Rasul-Nya mencakup benci pada keburukan dan perbuatan pengembannya. Hal itu merupakan tanda sempurnanya keimanan seseorang, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

«ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ: مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ ِممَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَيُحِبُّهُ إِلاَّ للهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِى الْكُفْرِ بَعْدَ أنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ»

“Ada tiga perkara, yang apabila ketiganya ada pada diri seseorang, maka ia akan mendapatkan rasa manisnya iman. Yaitu: siapa saja manakala Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, ia mencintai seseorang yang tidak ia cintai kecuali karena Allah. Dan manakala ia membenci kembali pada kekufuran sesudah Allah menyelamatkannya darinya, seperti halnya ia membenci jika ia dilemparkan ke dalam api.” (HR. Al-Bukhari, Muslim)

Hadits ini mengandung petunjuk agung bahwa tanda keimanan adalah loyal pada Allah, Rasul-Nya, dan orang beriman yang loyal pada Allah dan Rasul-Nya, pada saat yang sama berlepas diri dari kekufuran dan pengembannya. Sifat ini bahkan digambarkan Rasulullah ﷺ sebagai ikatan iman yang paling kokoh. Rasulullah ﷺ bersabda:

«أَوْثَقُ الْإِيمَانِ الْوَلَايَةُ فِي اللَّهِ بِالْحَبِّ فِيهِ وَالْبُغْضِ فِيهِ»

“Ikatan iman yang paling kuat adalah: loyalitas kepada Allah dengan mencintai dan membenci karena Allah.” (HR. Al-Hakim, al-Thabarani)

Kata autsaq merupakan bentuk tafdhîl (pengutamaan), yakni pengutamaan sifat kokoh dari ikatan iman. Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795 H) dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam (hlm. 390), menegaskan bahwa pertanda manisnya iman adalah: manakala seseorang mencintai orang lain semata-mata karena Allah, melarang dirinya loyal pada musuh-musuh Allah, dan siapa saja yang Allah benci secara umum. Sehingga din ini seluruhnya hanya untuk Allah, dan manakala seseorang mencintai karena Allah dan membenci karena-Nya, memberi dan menahan pemberian karena Allah.

Petunjuk-petunjuk agung ini menegaskan bahwa loyalitas kepada Allah, Rasul-Nya, Din-Nya, serta kecintaan pada orang-orang beriman yang mencintai-Nya; merupakan bukti keimanan dan ikatan iman yang paling kuat. Hal ini meniscayakan kecintaan pada golongan-Nya (hizbuLlâh), yakni mereka yang mendakwahkan Din-Nya, dengan menetapi metode dakwah yang digariskan oleh Rasul-Nya (lihat: QS. Ali Imran [3]: 104) sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ {٧}

“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian menolong (Din) Allah, maka Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian.” (QS. Muhammad [47]: 7)

Keimanan, menjadi landasan dari semangat untuk memperjuangkan Din-Nya, karena makna hakiki di balik pesan agung “in tanshuruLlâh” (jika kalian menolong Allah), adalah menolong Rasul-Nya, Dîn-Nya, syari’at-Nya, dan kelompok pembela Dîn-Nya (hizbuLlâh), sebagaimana penafsiran para ulama, diungkapkan secara majazi kepada Allah untuk menunjukkan betapa besarnya kedudukan amal menolong Din-Nya. Bukankah terang benderang bagaimana Islam mendorong orang-orang beriman untuk saling menolong dalam kebaikan?

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ {٧١}

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.” (QS. Al-Taubah [9]: 71)

Dalam ayat yang agung ini, Allah SWT menginformasikan akan menganugerahkan rahmat-Nya pada mereka yang menegakkan dakwah, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, yang disebutkan secara khusus sebagai bagian dari keta’atan kepada Allah dan Rasul-Nya (yuthî’ûnaLlâha wa rasûlahu), menunjukkan konsekuensi sifat iman adalah tolong menolong dalam menegakkan kebenaran. Rasulullah ﷺ pun mendorong kaum Muslim untuk saling menasihati, dari Tamim al-Dari r.a., bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

«الدِّينُ النَّصِيحَةُ»

“Agama itu adalah nasihat”

Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi ﷺ bersabda:

«للهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ، وَعَامَتِهِمْ»

Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslim dan kaum Muslim pada umumnya.” (HR. Muslim, Ahmad)

Hadits ini merupakan salah satu hadits yang sangat agung kedudukannya, karena mengandung pokok-pokok ajaran Islam, dimana Rasulullah ﷺ menyifati al-nashîhah sebagai fondasi Islam. Al-Hafizh Ibn Daqiq al-‘Ied (w. 702 H) dalam Syarh al-Arba’în (hlm. 52), menjelaskan makna nasihat untuk kaum Muslim, yakni memerintahkan mereka kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran dengan cara yang lembut dan niat ikhlas. Itu semua merupakan gambaran dari sifat istimewa umat baginda Rasulullah ﷺ, ketika mereka tertunjuki untuk saling mencintai karena Allah, dan menjalin kesatuan visi untuk menegakkan kehidupan Islam, dan membenci keburukan, sebagaimana disifati dalam firman-Nya:

وَلَٰكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ {٧}

“Akan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu, serta menjadikan kamu benci kepada kekufuran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS. Al-Hujurât [49]: 7)

Mempersekusi Dakwah: Loyalitas Pada Keburukan & Pengembannya

Cinta karena Allah dan Rasul-Nya pun wajib dibuktikan dengan sikap berlepas diri dari keburukan dan pengembannya. Mengingat perbuatan buruk mereka yang mempersekusi dakwah dan pengembannya, apapun motifnya pasti kembali pada dua sisi kebatilan: (1) Syubhat (pemahaman yang bertentangan dengan Islam), atau (2) Syahwat (jabatan, materi dan lainnya). Siapapun yang melakukannya berarti meniti jalan syaithan sebagaimana firman-Nya: QS. Al-Nûr [24]: 21, diperjelas karakter perbuatan kaum Munafik dalam QS. Al-Taubah [9]: 67, dan disifati sebagai perbuatan kaum Kuffar dalam firman-Nya:

يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ {٨}

Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya.” (QS. Al-Shaff [61]: 8)

Hingga kaum Kuffar pun dikecam Allah dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 78-79, dan QS. Al-Mâ’idah [5]: 63, Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat-ayat tersebut berhubungan dengan kaum Yahudi, Nasrani, dan Musyrik. Setiap golongan ini berupaya menguasai tempat-tempat ibadah, untuk menghalang-halangi manusia dari mengingat Allah di dalamnya, bahkan berupaya meruntuhkannya. Realitas kondisi ini terjadi semenjak turunnya risalah Islam kepada mereka, seperti apa yang dilakukan kaum Musyrik terhadap Rasulullah ﷺ, ketika Baitul Haram (Ka’bah) dalam kekuasaan mereka, maka mereka melarang Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya untuk beribadah di Ka’bah.

Syaikh ’Atha bin Khalil menguraikan lebih lanjut, bahwa sesungguhnya tidak ada yang lebih zhalim daripada orang yang menghalang-halangi tegaknya kebenaran terucap di rumah-rumah Allah, dan berupaya menghancurkan tempat-tempat ibadah (masâjid), sama saja apakah berupa penghancuran fisik –seperti merobohkannya-, atau penghancuran non fisik dengan menjadikannya sebagai tempat yang dijauhkan dari seruan kebenaran, sebaliknya disebarkan di dalamnya seruan kebatilan. Maka perbuatan tercela ini wajib dijauhi oleh mereka yang mengaku beriman pada-Nya, karena bertentangan dengan tuntutan keimanan, dan sifat persaudaraan orang-orang beriman (QS. Al-Hujurât [49]: 10) yang dituntut saling mencintai karena-Nya, Rasulullah ﷺ bersabda:

«وَلاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا ، وَلاَ تَدَابَرُوا ، وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا»

“Janganlah kalian saling mendengki, membenci, berselisih, tetapi jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Al-Bukhari, Muslim) []

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Update lain

Logo Cinta Quran Center

CintaQuran Center merupakan Pesantren Tahfizh Al-Quran yang terintegrasi dengan Program pendidikan kaderisasi untuk melahirkan Da’i yang siap menggemakan kecintaan Umat terhadap Al-Quran.

© Copyright CintaQuran®Center All Rights Reserved.